Senin, 20 Desember 2010

Agama, Ilmu dan Masa Depan Manusia

AGAMA, ILMU, DAN MASA DEPAN MANUSIA

Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung ekslusif dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki persamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Agama dan ilmu sama-sam memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung di balik setiap bencana. Adapun menuntut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau tersumbatnya lava gunung berapi. Oleh karena itu, para ilmuwan harus mencari ilmu dan teknologi untuk mendeteksi kapan gempa akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak.
Contohnya:
Ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi informasi, masyarakat miskin di daerah tertentu semakin transparan, sebaliknya orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata.
Namun, di sisi lain manusia semakin tergantung pada teknologi, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar-benar nyata dan hasil rekayasa. Jika teknlogi dijadikan tujuan dan cita-citamaka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri.
Di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepentingan manusia. Teknologi layar seakan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang bersamaan manusia memanfaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak heran, bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa pulyuh inci disesaki oleh berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ, pasar, politik, ekonomi, masjid, gereja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan masyarakat sehingga dia gunakan kebutuhan itu untuk mencari untuk sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan relegius yang unspeakble dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern” mewakili sikap ogoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengasahkan keserakahan, sekedar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak agama itu sendiri. Di satu pihak, penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi agama agar sesuai dengan kemajuan zaman, atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan kemiskinan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasi secara paksa karena hanya memuaskan perasaan manusia belaka. Visualisasi yang bagaimanapun tentang Tuhan hanya menghasilkan patung Tuhan.
Agama sendiri merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut memengaruhi perkembangan dunia itu sendiri, dan dengan cara demikian juga memenagruhi jalannya sejarah.
Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”, tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik.
Konsep agama tentang hari akhirat adalah salah satu ajaran yang penting, tidak saja dari aspek teologis, tetapi juga psikologis dan historis. Secara teologis ajaran tentang hari akhirat cukup banyak tercantum dalam kitab suci agama, terutama agama-agama Semit, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Artinya, perhatian kitab suci pada hari kiamat sangat besar sekali. Secara psikologis, hari pembalasan memberikan ketenangan bagi diri seseorang yang amat gamang menghadapi kematian. Secara historis, telah terbukti bahwa hari kebangkitan melanggengkan agama. Ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa agama-agama yang mempunyai doktrin kehidupan setelah mati jauh lebih tahan dibandingkan agama-agama yang tidak memilikinya. Sejarah mencatat beberapa agama punah menjadi arkeologi salah satu sebab utamanya adalah tidak memiliki doktrin hari kebangkitan.
Dalam agama-agama pandangan mengenai hari depan tidak seragam. Ada yang berpandangan bahwa tujuan akhir kehidupan ini adalah nirwana, yakni ketiadaan dan dalam ketiadaan itu sifat dan keinginan kemanusiaannya hilang. Ketika manusia masih memiliki keinginan, dia akan kembali ke dunia dalam bentuk lain. Ada juga yang berpandangan bahwa ada kehidupan yang lebih abadi dan tenang di alam sana sehingga bagi orang yang sudah membekali dirinya untuk berangkat ke alam sana tidak akan takut menghadapi mati.
Dalam kerangka itu, agama dan ilmu memiliki kesamaan, yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desai agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama untuk memberikan ketenangan setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan teknologi untuk hidup masa depan di dunia ini.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai “rasio” (akal) yang tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana masing-masing untuk membuktikan kebenarannya dan menghayati hakikatnya. Ilmu pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaran fisik, biologi, sosial, dan budaya.
Dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk pembangunan, maka demi menjaga keseimbangan antara teknologi, pembangunan, dan lingkungan kita tidak boleh dihinggapi penyakit rabun dekat dan mengikuti naluri hanya untuk memikirkan hasil-hasil jangka pendek. Keuntungan semu jangka pendek tidak mustahil menjadikan bumerang yang mengakibatkan kerugian dalam jangka panjang.
Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana juga gama. Di dunia barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekadar mengkaji dan mengukur benda secar empiris. Padahal, sesungguhnya, ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya untuk berpikir secara filosofis. Mereka hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi. Sedangkan penganut agama harus dilatih berpikir dengan cara yang berbeda; kalau tidak, mereka akan tetap bertuhan secara dogmatis. Kita harus memandang agama lebih dari sekedar keyakinan. Para penganut agama harus kembali ke sejumlah pemikir mereka sendiri untuk bersikap agak lebih luwes dan tidak menganut gaya berpikir inkusisi yang “sederhana”.
Sinergi agama dan ilmu dalam konteks ini dapat dilakukan demi terwujudnya keseimbangan peradaban manusia. Sebab, kalau masing-masing pihak masih tetap mempertahankan ego, maka masa depan umat manusia tidak dapat diramalkan, bahkan akibatnya jauh lebih dahsyat daripada kehancuran Perang Dunia II.
Di sinilah ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari aspek yang sempit, tetapi harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk kepentingan kehidupan yang lebih abadi. Kalau visi ini yang diyakini oleh para ilmuwan dan agamawan, maka harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan sentosa. Tentu saja pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dukungan dari berbagai pihak untuk terwujudnya masa depan cerah dan harmonis.


Sumber dari:
 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), cet. ke-9.

Selasa, 13 Juli 2010

Pembagian Hadis secara Umum

PEMBAGIAN HADITS SECARA UMUM

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.  
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah: 
هُوَ خَيْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جمٌّ يَجِبُ فِى الْعَادَةِ إِحَالَةٌ اجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ.
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
الْحَدِيْثُ الْمُتَوَاتِرُ هُوَ مَا رَوَاهُ جَمْعٌ تَحِلُ الْعَادَةِ تَوَاطُئُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاهُ عَلَى أَنْ يَحْتَلَّ هَذَا الْجَمْعُ فِى أَيِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَاقَةِ السَّنَدِ.
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu. 
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir 
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.       Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2.       Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.       Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b.       Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.       Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d.       Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ                     
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3.       Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 

c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1.      Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
مَا اتَّفَقَتْ اَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا وَفِى مَكْنَاهُ
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
هُوَمَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ مَا رَوَاهُ بِلَفْظِهِ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ.
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
قَالَ النَّبِيُّ J: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2.      Hadits mutawatir maknawi 
Hadits mutawatir maknawi adalah :
مَااخْتَلَفُوْا فِى لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنَى كُلِّيٍّ.
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
مَااتَّفَقَتْ نَقَلَتُهُ عَلَى مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ مُطَابَقَةٍ فِى اللَّفْظِ.
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.  Contoh :
كَانَ النَّبِيُّ J لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَمَنْكِبَيْهِ
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3.      Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتِرُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ  فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَ بِهِ أَوْ غَيْرَ ذَالِكَ.
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh : Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkan-nya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
مَالَمْ تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِى الْكَثْرِةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اثْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً أَوْ أَرْبَعَةً أَوْ خَمْسَةً إِلَى غَيْرِ ذَالِكَ مِنَ اْلإِعْدَادِ الَّتِى لاَتُشْعِرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ.
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
مَالاَ يَجْتَمِعُ فِيْهِ شُرُوْطُ التَّوَاتُرِ.
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah adamuaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebutmuhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata  عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir. Contoh :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ      "Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata   وَكَانَ مُسْتَنَدُهُمُ الْحِسُّ(dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan (martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1.       Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ سَلِمَ لَفْظُهُ مِنْ رَكَالَةٍ وَمَعْنَاهُ مِنْ مُخَالَفَةِ آيَةٍ أَوْ حَدِيْثٍ مُتَوَاتِرٍ أَوْ إِجْمَاعٍ وَكَانَ رُوَاتُهُ عَدُوْلاً وَضُبَّطًا.
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
2.       Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
وَمَا قُلْنَا فِى كِتَابِنَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّمَا أَرَدْنَا بِهِ حَسُنَ إِسْنَادُهُ عِنْدَنَا كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لاَ يَكُوْنُ فِى إِسْنَادِهِ مَنْ يُتَهَمُّ بِالْكَذْبِ وَلاَ يَكُوْنُ الْحَدِيْثِ شَّاذاً وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوِ ذَالِكَ فَهُوَ عِنْدَنَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3.       Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
الحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ لَمْ يُجْمِعْ صِفَاتِ الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَلاَ صِفَاتِ الْحَدِيْثِ الْحَسَنِ.
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a.       Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
مَادَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ.
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan baru yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan hadis nasikh,sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh. 
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadismaqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1.   Hadis maqmulun bihi 
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a)      Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b)     Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c)      Hadis nasih
d)     Hadis rajih.
2.   Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a.       Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b.      Hadis mansuh
c.       Hadis marjuh.

b. Hadis Mardud 
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
مَالَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ وَلاَ عَدَمِ ثُبُوْتِهِ بَلْ مُسْتَوِى الْأَمْرَانِ.
 "Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
مَالَمْ تُوْجَدْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ.
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbul."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebut juga Hadis Mausul.
الحَدِيْثُ الْمُتَّصِلُ هَوَ الَّذِى سَمِعَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ رُوَاتِهِ مِمَّنْ فَوْقِهِ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى مُنْتَهَاهُ سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعًا أَوْ مَوْقُوْفًا.
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الَّذِيْ تَفُوْتُهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ كَـأَنَّمَا وَتَرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ.
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
مَنْ أَسْلَفَ سَلَفًا فَلاَ يَشْتَرِطُ إِلاَّ قَضَاءَهُ
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kataittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
الْمُنْقَطِعُ مَالاَ يَتَّصِلُ سَوَاءٌ كَانَ يَنْقَوِى إِلَى النَّبِيِّ J أَوْ إِلَى غَيْرِهِ
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan: 
وَكُـلُّ مَالَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ، إِسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الْأَوْصَالِ.
“Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sbb:
الْمُنْقَطِعُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ سَقَطَ مِنْ رُوَاتِهِ رَاوٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الصَّحَابِى فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ أَوْمُتَعَدِّدَةٍ بِحَيْثُ لاَيَزِيْدُ السَّاقِطُ فِى كُلِّ مِنْهَا عَلَى وَاحِدٍ وَأَلاَّ يَكُوْنَ السَّاقِط فِى أَوَّلِـ السَّنَدِ.
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.