Selasa, 13 Juli 2010

Pembagian Hadis secara Umum

PEMBAGIAN HADITS SECARA UMUM

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.  
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah: 
هُوَ خَيْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جمٌّ يَجِبُ فِى الْعَادَةِ إِحَالَةٌ اجْتِمَاعِهِمْ وَتَوَاطُئِهِمْ عَلَى الْكَذِبِ.
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
الْحَدِيْثُ الْمُتَوَاتِرُ هُوَ مَا رَوَاهُ جَمْعٌ تَحِلُ الْعَادَةِ تَوَاطُئُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ أَوَّلِ السَّنَدِ إِلَى مُنْتَهَاهُ عَلَى أَنْ يَحْتَلَّ هَذَا الْجَمْعُ فِى أَيِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَاقَةِ السَّنَدِ.
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu. 
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir 
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.       Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2.       Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a.       Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b.       Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.       Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d.       Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ                     
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3.       Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 

c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1.      Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
مَا اتَّفَقَتْ اَلْفَاظُ الرُّوَاةِ فِيْهِ وَلَوْ حُكْمًا وَفِى مَكْنَاهُ
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
هُوَمَا تَوَاتَرَ لَفْظُهُ مَا رَوَاهُ بِلَفْظِهِ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ.
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
قَالَ النَّبِيُّ J: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :

Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2.      Hadits mutawatir maknawi 
Hadits mutawatir maknawi adalah :
مَااخْتَلَفُوْا فِى لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْعِهِ لِمَعْنَى كُلِّيٍّ.
"Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."
مَااتَّفَقَتْ نَقَلَتُهُ عَلَى مَعْنَاهُ مِنْ غَيْرِ مُطَابَقَةٍ فِى اللَّفْظِ.
"Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.  Contoh :
كَانَ النَّبِيُّ J لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَمَنْكِبَيْهِ
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3.      Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
مَا عُلِمَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ وَتَوَاتِرُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّ النَّبِيَّ  فَعَلَهُ أَوْ أَمَرَ بِهِ أَوْ غَيْرَ ذَالِكَ.
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh : Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkan-nya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
مَالَمْ تَبْلُغْ نَقَلَتُهُ فِى الْكَثْرِةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُخْبِرُ وَاحِدًا أَوْ اثْنَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً أَوْ أَرْبَعَةً أَوْ خَمْسَةً إِلَى غَيْرِ ذَالِكَ مِنَ اْلإِعْدَادِ الَّتِى لاَتُشْعِرُ بِأَنَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فِى خَبَرِ الْمُتَوَاتِرِ.
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
مَالاَ يَجْتَمِعُ فِيْهِ شُرُوْطُ التَّوَاتُرِ.
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah adamuaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebutmuhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
وَاخْتَارَ مُوسَى قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata  عَنْ مِثْلِهِمْ إِلَى انْتِهَاءِ السَّنَدِ (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir. Contoh :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ      "Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata   وَكَانَ مُسْتَنَدُهُمُ الْحِسُّ(dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan (martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1.       Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
الحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ سَلِمَ لَفْظُهُ مِنْ رَكَالَةٍ وَمَعْنَاهُ مِنْ مُخَالَفَةِ آيَةٍ أَوْ حَدِيْثٍ مُتَوَاتِرٍ أَوْ إِجْمَاعٍ وَكَانَ رُوَاتُهُ عَدُوْلاً وَضُبَّطًا.
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
2.       Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
وَمَا قُلْنَا فِى كِتَابِنَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّمَا أَرَدْنَا بِهِ حَسُنَ إِسْنَادُهُ عِنْدَنَا كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَى لاَ يَكُوْنُ فِى إِسْنَادِهِ مَنْ يُتَهَمُّ بِالْكَذْبِ وَلاَ يَكُوْنُ الْحَدِيْثِ شَّاذاً وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوِ ذَالِكَ فَهُوَ عِنْدَنَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3.       Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
الحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ لَمْ يُجْمِعْ صِفَاتِ الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَلاَ صِفَاتِ الْحَدِيْثِ الْحَسَنِ.
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a.       Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
مَادَلَّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ.
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan baru yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan) disebut dengan hadis nasikh,sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh. 
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadismaqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1.   Hadis maqmulun bihi 
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a)      Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b)     Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c)      Hadis nasih
d)     Hadis rajih.
2.   Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a.       Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b.      Hadis mansuh
c.       Hadis marjuh.

b. Hadis Mardud 
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
مَالَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجْحَانِ ثُبُوْتِهِ وَلاَ عَدَمِ ثُبُوْتِهِ بَلْ مُسْتَوِى الْأَمْرَانِ.
 "Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
مَالَمْ تُوْجَدْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ.
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbul."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebut juga Hadis Mausul.
الحَدِيْثُ الْمُتَّصِلُ هَوَ الَّذِى سَمِعَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ رُوَاتِهِ مِمَّنْ فَوْقِهِ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى مُنْتَهَاهُ سَوَاءٌ كَانَ مَرْفُوْعًا أَوْ مَوْقُوْفًا.
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الَّذِيْ تَفُوْتُهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ كَـأَنَّمَا وَتَرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ.
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
مَنْ أَسْلَفَ سَلَفًا فَلاَ يَشْتَرِطُ إِلاَّ قَضَاءَهُ
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kataittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
الْمُنْقَطِعُ مَالاَ يَتَّصِلُ سَوَاءٌ كَانَ يَنْقَوِى إِلَى النَّبِيِّ J أَوْ إِلَى غَيْرِهِ
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan: 
وَكُـلُّ مَالَمْ يَتَّصِلْ بِحَالِ، إِسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الْأَوْصَالِ.
“Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sbb:
الْمُنْقَطِعُ هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ سَقَطَ مِنْ رُوَاتِهِ رَاوٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الصَّحَابِى فِى مَوْضِعٍ وَاحِدٍ أَوْمُتَعَدِّدَةٍ بِحَيْثُ لاَيَزِيْدُ السَّاقِطُ فِى كُلِّ مِنْهَا عَلَى وَاحِدٍ وَأَلاَّ يَكُوْنَ السَّاقِط فِى أَوَّلِـ السَّنَدِ.
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.

Resume Ulumul Qur'an

Ulumul Qur’an
A. Definisi Al-Qur’an
1. Al-Qur’an menurut bahasa
Terdapat banyak pendapat ulama tentang lafadz Al-Qur’an, namun pandapat yang paling kuat adalah pendapat Al-Liyani, yaitu Lafazh Al-Qur’an adalah masdar (مصدر)  dan berhamzah seperti kata al-Ghufraan (الغفران), berasal dari kata (قرا) yang artinya membaca.
2. Pengertian Al-Qur’an menurut Istilah
Menurut  Manna' Al-Qathan
كَلَمُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ ص.م. الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
“Al-Qur'an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya  akan memperoleh pahala”.

B. Definisi Ulumul Qur’an
Ungkapan “Ulum al-Quran” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum” dan “al-Quran”. Ulum adalah jamak dari kata Ilmu, sedangkan Al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya  akan memperoleh pahala. Jadi Ulum Al-Quran adalah penmbahasan-pembahasan ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran.
Menurut Istilah adalah adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang tersebut dalam definisi ini berupa ilmu-ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, urutan-utrutannya, pengumpulannya, penulisannya, qira’atnya, tafsirnya, kemukijizatannya, nasikh dan mansukhnya , ayat-ayat Makkiah dan Madaniah, ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihatnya.

C. Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur'an diturunkan dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada' tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahap, yaitu:
1.      Al-Qur'an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-Mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam:
بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ. فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ.
Artinya:
"Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur'an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Al-Mahfuz. (Q.S Al-Buruj:21-22)
2.      Al-Qur'an diturunkan dari Lauh al-Mahfuz ke Bait al-Izzah (tempat yang berada dilangit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ     
            Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan".           
  1. Al-Qur'an diturunkan dari Bait al-Izzah kedalam hati Nabi melalui malaikat Jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan kadang-kadang satu surat.
­Diturunkannya Al-Qur'an secara berangsur-angsur mengandung hikmah dan faedah yang besar, seperti:
1.  Memantapkan hati Nabi
2.   Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur'an
3.  Memudahkan untuk dihapal dan dipahami
4.  Mengikuti setiap kejadian (yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Qur'an) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari'at.
5.  Membuktikan dengan apsti bahwa Al-Qur'an turun dari Allah yang Maha Bijaksana.
Walaupun Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur, secara keseluruhan, terdapat keserasian antara satu bagian dan bagian Al-Quir'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah Mahabijaksana.

D. Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
Dikalangan ulama, terminology pengumpulan Al-Qur'an (Jam' al-Qur'an) memiliki dua konotasi, yaitu konotasi penghapalan Al-Qur'an dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
1.   Proses penghapalan Al-Qur'an
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena itu, ketika dating wahyu, Nabi langsung menghapal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang pertama yang menghapal Al-Qur'an. Tindakan Nabi merupakan suri tauladan bagi para sahabatnya.. Imam Bukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan Al-Qur'annya, "Abdullah bin Mas'ud, Salim bin Mi'qal (maula'nya Abu Hudzaifah), Mu'adz bin Jabal, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As-Sakan, dan Abu-Darda.
a. Pada masa Nabi
Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Proses penulisan Al-Qur'an pada masa Nabi sungguh sangat sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Qur'an pada masa Nabi adalah :
1)          Membukukan hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2)          Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Hal ini karena hapalan para sahabat saja tidak cukup, terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka lupa atau sebagian mereka ada yang sudah wafat. Adfapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, penulisan Al-Qur'an tidaklah pada satu tempat.
b. Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur'an sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat dan ayatnya masih terpencar-pencar dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushadf adalah Abu Bakar, dan beliaulah yang berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur'an yang dilakukan Abu Bakar setelah terjadi Perang Yamamah pada tahun 12 H.
Ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Qur'an pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar sendiri, Umar,dan Zaid mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembukuan Al-Qur'an.
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur'an itu disimpan oleh khalifah Umar, setelah Umar wafat, Mushaf itu disimpan Hafsah.
c. Pada masa Utsman bin Affan
Utsman bin Affan memutuskan agar Mushaf yang beredar memenuhi persyaratan berikut:
1)      terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad
2)      mengabaikan yang bacaannya di-nasakh dan ayat tersebut tidak dibaca kembali dihadapan Nabi pada saat-saat terakhir.
3)      Kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda sesuai dengan Mushaf Abu Bakar.
4)      System penulisan yang digunakan mampu mencakup qira'at yang berbeda sesuai dengan lafaz-lafaz Al-Qur'an ketika diturunkan.
2. Penyempurnaan penulisan Al-Qur'an setelah masa Khalifah
Upaya penyempurnaan Al-Qur'an tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H. Tercatat tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik  pada Mushaf Utsmani, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du'ali, Yahya bin Ya'mar dan Nashr bin Ashim Al-Laits, sedangkan orang yang disebut-sebut pertamakali meletakkan hamzah, tasydid, ar-raum, dan al-isymam adalah al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi.

E. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Qur’an
Di masa Rasulullah SAW dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Kahlifah Ustman, wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab dari bangsa Arab. Bahkan kekhawatiran akan terjadinya perpecahan di kalangan kamu Muslimin tentang bacaan al-Qur’an selama mereka tidak memiliki sebuah al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacan mereka. Untuk menjaga agar tidak terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini maka berarti Ustman telah meletakkan dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm al-Qur’an atau ‘Ilm al-Rasm al-Ustmani.
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu al-Qur’an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan al-Qur’an, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (w. 69 H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga al-Qur’an dari keteledoran pembacanya. Tindakan Khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-Qur’an.
Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu al-Qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan dan catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya.
Pada masa ini dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al-Qur’an dan lainnya.
 Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘Ulum (induk ilmu-ilmu al-Qur’an). Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj (w. 160 H.), Sufyan ibn ‘Uyaynah dan Wali’ Ibn al-Jarrah.
Pada abad ke-3 lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat Makkiah dan Madaniah, qiraat, I’rab dan istinbath.
Abad ke-4 lahir ilmu Gharib al-Qur’an. Abad ke-5 lahir ilmu Amtsal al-Qur’an. Abad ke-6 di samping banyak ulama yang melnajutkan pengembangan ilmu-ilmu al-Qur’an yang telah ada, lahir pula ilmu mabhat al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal al-Qur’an yang masksudnya apa dan siapa tidak jelas.  
Pada Abad ke-8 muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu tentang al-Qur’an. Ibn Abi al-Ishba’ menulis tentang Badai’ al-Qur’an, yang membahas macam-macam keindahan bahasa dalam al-Qur’an. Ibn Qayyim menulis tentang Aqsam al-Qur’an, yang membahas tentang sumpah-sumpah al-Quran.
Pada Abab ke-9, Jalaluddin al-Suyuthi menyusun dua kitab, al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir dan al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Kedua kitab ini dianggap puncak karang-mengarang dalam Ulumul Qur’an. Setelah abad ini hampir tidak ada lagi yang mampu melampaui karyanya. Ini terjadi sebagai akibat meluasnya sifat taklid.
Sejak penghujung abab ke-13 H. sampai saat ini perhatian para ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an bangkit kembali. Kebangkitan ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.
F. Asbab Al-Nuzul
Ungkapan asbab-nuzul merupakan bentuk idhofah dari asbab dan nuzul. Secara etimologi artinya sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Menurut Az-zargani Asbabuan-nuzul adalah sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunya ayat Al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.Menurut Az-zargani urgensi asbab an-nuzul dalam mmahami Al-qur’an adalah
1.      Membantu dan memahami sekaligus mengatasi ketidak pastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-qur’an.
2.       Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3.      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat al-qur’an bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat kusus.
4.      Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-qur’an.
5.      Memudahkan untuk menghapal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya. 
G. Tartib al-Ayat wa al-Suwar
Ilmu Tartib As-Suwar, ilmu yang membahas tentang bagaimana tartib ayat-ayat dan atau Surah-surah Al-Quran
H.   Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
·    Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan huruf alif pada ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah dan kata na      
·     Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan menambah  huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas tulisan wawu.
·    Al-Hazmah, salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan dan U’tumin
·    Badal (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan kepada kata Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma ditulis dengan disambung  Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf  Utsmani, penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu alif)
 I.     Rasm Al-Qur’an
Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu”. 
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya;
J. Ilmu al-Muhkam wa al-Mutasyabih
Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang baik melalui ta’wil ataupun tidak Ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui Allah seperti kedatangan kedatangan hari kiamat, kedatangan dajjal. Hikmah keberadaan ayat mutasabih dalam Al-qur’an adalah:
1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasabih.
3.      Memberikan pemahaman abstrak Illahi kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikannya.
K. Ilmu Fawatih al-Suwar wa Khatimuha
a. Fawatih al-Suwar
1. Pengertian
Secara etimilogis, Fawatih al-Suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya berada di awal surat-surat dalam Al Qur’an. Manna Khalil Al Qhatthan dalam kitabnya Mabahits fi ulumil Qur’an mengidentikan fawatihus suwar dengan huruf-huruf yang terpisah (al-Ahruful Muqotho’ah).
2. Macam-macam Fawatih al-Suwar
Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang pembukaan surat Al Qur’an, diantaranya sebagai yang dilakukan oleh Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab al-Khaqathir al-sawanih fi Asrar al-Fawatih, Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam surat yang ada di dalam al Qur’an. Pembagian karakter pembukaannya adalah sebagai berikut. Pertama, pujian terhadap Allah SWT. yang dinisbatkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Kedua, dengan menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat dalam 29 surat. Ketiga,dengan menggunakan kata seru (ahrufun nida); terdapat dalam sepuluh surat. Keempat,kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. Kelima,dalam bentuk sumpah (al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat. Sedangkan menurut Badruddin Muhammad Az Zarkasy, Allah SWT. telah memberikan pembukaan terhadap kitab-Nya dengan sepuluh macam bentuk dan tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan itu. Al-Qasthalani dan Abu Syamah sebagai dikutip oleh As-Suyuthi memaparkan sepuluh macam pembukaan tersebut walaupun ada sedikit perbedaan. Berikut adalah pemaparan yang diutarakan oleh Al-Qasthalani :
a)      Pembukaan dengan pujian kepada Allah (al-Istiftah bil al-Tsana). Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu :
Menetapkan sifat-sifat terpuji dengan menggunakan salah satu lafal berikut :
·        Memakai lafal hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله , yang terdapat dalam 5 surat yaitu : Q.S. Al Fatihah, Al An’am, Al Kahfi, Saba, dan Fathr.
·        Memakai lafal تبارك, yang terdapat dalam 2 surat yaitu Q.S. Al Furqon dan Al Mulk.
·        Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (tanzih ‘an sifatin naqshin) dengan menggunakan lafal tasbih terdapat dalam 7 surat yaitu : Q.S. al-Isra, al-A’la, al-Hadid, al-Hasyr, as-shaff, al-jum’ah, dan at-Taghabun.
b)      Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (al-Ahruful Muqoto’ah).
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni
ا,ح,ر,س,ص,ط,ع,ق,,ك,ل,م,ن,ه,ي Penggunaan surat-surat tersebut dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut : 1) Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni ص (Q.S. Shad),  ق(Q.S. Qof) ن(Q.S. Nun). 2) Kelompok yang terdiri dari dua huruf, terdapat dalam 3 rangkaian dan 9 surat, yakni حم (Q.S. Al Mu’min, Q.S. As Sajdah, Q.S. Az Zuhruf, Q.S. Ad Duhkan, Q.S. Al Jatsiyah, dan Q.S. Al Ahqaf); طه (Q.S. Thaha); طس (Q.S. An Naml); dan يس (Q.S. Yaasin). Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, terdapat dalam 3 rangkaian dan 13 surat, yakni : الم (Q.S. Al Baqoroh, Q.S. Ali Imron, Q.S. Ar Rum, Q.S. Lukman, dan Q.S. Sajdah); الر (Q.S. Yunus, Q.S. Hud, Q.S. Ibrahim, Q.S. Yusuf, dan Q.S. Al Hijr); dan طسم (Q.S. Al Qoshosh dan Q.S. As Syu’ara). 4) Kelompok yang terdiri dari 4 huruf, terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni المر (Q.S. Ar Ra’du) dan المص (Q.S. Al A’raf). 5) Kelompok yang terdiri dari 5 huruf terdapat dalam 2 rangkaian dan 2 surat, yakni كهيعص (Q.S. Maryam) dan حم عسق (Q.S. As Syu’ra).
c)      Pembukaan dengan panggilan (al istiftah bin nida). Nida ini ada tiga macam, terdapat dalam 9 surat, yaitu nida untuk Nabi يا أيها النبي), ( yang terdapat dalam Q.S. Al Ahzab, At Tahrim dan At Thalaq. ياأيها المزمل) ( dalam Q.S. al Muzammil dan term ( ياأيها المدثر ); nida untuk kaum mukminin dengan term ياأيها الدين امنوا terdapat dalam Q.S. Al Maidah dan Al hujurat, dan nida untuk umat manusia ياأيهاالناس terdapat dalam Q.S. An Nisa dan Q.S. Al Hajj. Menurut As Suyuthi[5] pembukaan dengan panggilan ini terdapat dalam 10 surat, yakni ditambah dengan Q.S. Al Mumtahanah
d)      Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariyah (al-Istiftah bi al-Jumal al-Khabariyah).
·        Pembukaan dengan sumpah (al-Istiftah bil qasam). Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat-surat Al Qur’an ada tiga macam dan terdapat dalam 15 surat. Pembahasan selanjutnya dalam bab tersendiri.
·        Pembukaan dengan syarat (al-Istiftah bis syarat).
·        Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-istiftah bil amr).
Berdasarkan penelitian para ahli, ada sekitar 6 kata kerja perintah yang menjadi pembukaan surat-surat Al Qur’an.
·        Pembukaan dengan pertanyaan (al-Istiftah bil istifham). Bentuk pertanyaan ini ada dua macam, yaitu : 1. Pertanyaan positif yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat positip. 2. Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat negatif.
·        Pembukaan dengan do’a (al-Istiftah bid du’a). Pembukaan dengan doa.
·        Pembukaan dengan alasan (al-Istiftah bit ta’lil). Pembukaan dengan alasan ini hanya terdapat dalam Q.S. Al Quraisy.

b. Khawatim   al-Suwar
Sebagaimana pembuka surat, penutup surat pun memiliki keindahan tertentu. Alasannya, penutup surat merupakan akhir kesan yang didengar (dibaca) dari surat yang bersangkutan. Oleh karena itu, penutup surat memuat kandungan yang sarat dengan makna.
1. Pengertian
Khawatim merupakan bentuk jamak dari kata khatimah, yang berarti penutup atau penghabisan. Secara bahasa, khawatim al-suwar berarti penutup surat-surat Al Qur’an. Menurut istilah khawatim al-suwar adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surat-surat al Qur’an yang memberi isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk mengetahui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya.
2. Macam Khawatim Al-Suwar
Imam As-Suyuthi dalam membahas Khawatim al-Suwar tidak begitu rinci sebagaimana menerangkan Fawatih as-Suwar. Ia menerangkan beberapa bentuk term sebagai penutup dari surat-surat tersebut. Di situ diterangkan bahwa penutup surat diantaranya berupa : do’a, wasiat faroidl, tahmid, tahlil, nasihat-nasihat, janji dan ancaman, dll.
Menurut sementara penelitian terhadap penutup surat-surat al Qur’an sedikitnya Fawatih as-Suwar ada 18 macam, yaitu :
  • Penutup dengan mengagungkan Allah.
  • Penutupan dengan pujian (at Tahmid)
  • Penutupan dengan wasiat,
  • Penutupan dengan perintah dan masalah taqwa.
  • Penutupan dengan masalah kewarisan.
  • Penutupan dengan janji dan ancaman.
  • Penutupan dengan hiburan bagi Nabi saw.
  • Penutupan dengan sifat-sifat Al Qur’an.
  • Penutupan dengan bantahan (al jadl).
  • Penutupan dengan ketauhidan.
  • Penutupan dengan kisah.
  • Penutupan dengan anjuran jihad.
  • Penutupan dengan perincian maksud.
  • Penutupan dengan pertanyaan.

L. Ilmu al-Makkiy wa al-Madaniy
Makiyah ialah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di Mekkah. Madaniyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah,kendatipun bukan turun di madinah.Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah di sebut Madaniyyah walaupun turun di Mekkah atau Arafah. Ciri-ciri spesifik makiyah dan madaniy :
1.   Makiyah
a.       Di dalamnya terdapat sajadah                                                      
b.      Ayat-ayatnya dimulai dengan kalla
c.       Dimulai dengan ya-ayuha an-nas
d.      Ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat- umat terdahulu
e.       Ayatnya berbicara tentang kisah nabi Adam dan Idris kecuali surat al-baqoroh
f.         Ayatnya dimulai dengan huruf terpotong- potong seperti alif lam mim dan sebagainya.
2.   Madaniyah
a.       Mengandung ketentuan-ketentuan faroid dan hadd
b.      Mengandung sindiran-sindiran terhadap kaum munafikkecuali surat al-ankabut.
c.        Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitab
M. Ilmu Munasabah
Munasabah secara etimologi berarti kecocokan, kesesuaian atau kepantasan. Manna’ al-Qathan mengatakan bahwa munasabah dalam pengertian bahasa berarti kedekatan (al-Muqarrabah). Misalnya jika dikatakan “si A munasabah dengan si Pulan”, berarti si A mendekati dan menyerupai si Pulan itu. Di antara pengertian ini termasuk munasabah, ‘illat hukum dalam qiyas yaitu adanya aturan logis yang melandasi suatu hukum yang dapat menghubungkan antara kedua kasus. Ilustrasi lebih konkrit misalnya “memabukkan” adalah ‘illat munasabah” yang menyebabakan diharamkannya “khamar”. Bila zat yang memabukkan itu dijumpai dalam minuman selain ‘khamar’, maka minuman itu sama hukumnya dengan ‘khamar’ yakni haram.
Munasabah secara terminologi dapat diartikan segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam suatu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain, antara pembukaan surah dengan penutupan dan seterusnya..
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah Al-Qur’an mencakup hubungan antar kalimat, antar ayat, serta antar surah. Macam-macam hubungan tersebut apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :
Dalam upaya memahami lebih jauh tentang aspek-aspek munasabah yang telah diterangkan di atas akan diajukan beberapa contoh di bawah ini.
1.      Munasabah Antara Surah Dengan Surah.
Keserasian hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat yang lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun secara parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q.S al-Fatihah (1), Q.S al-baqarah (2), dan Q.S Al-Imran (3)
Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
اهدنا الصراط المستقيم .  Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”                      
Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
ذلك الكتاب لاريب فيه هدى للمتقين .
“Kitab ( al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. ( Q.S Al-Baqarah / 2 : 2 ).
2. Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan Isinya.
Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tawqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut :
a)      Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b)      Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah: al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c)      Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d)      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti kaum wanita adalah lambang keharmonisan rumah tangga.
e)       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya: Thaha, Yasin, Shad dan Qaf.
3. Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat.
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid/tasydid (penguat/penegasan) dan tafsir/I’tiradh (interfretasi/ penjelasan dan ciri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
فإن لم تفعلوا “ , dikuti “ ولن تفعلوا” ( Q.S al-Baqarah / 2 : 24 ).
Contoh tafsir :
سبحان الذى اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى
Kemudian diikuti dengan
الذى باركنا حوله لنريه من اياتنا ( الإسراء / 17 : 1 )
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘ athaf ‘ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a.       Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan  atau larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah.
Salah satu contoh :
ولئن سألتهم من خلق السماوات والأرض __ ليقولون الله __ قل الحمد لله ( لقمان : 25 ).
b.  Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut). Contoh :
يسألونك عن الأهلة ___ قل هى ___ ( البقرة / 2 : 189 )
c. Munasabah berbentuk nazhir / matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhaddah / ta’kis ( hubungan kontradiksi ). Contoh :
ليس البر أن تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ___ ولكن البر ... (البقرة / 2 : 177).
4. Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah.
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat diawal Q.S. al-Baqarah 1–20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah al-Mu’minun dimulai dengan :
قد أفلح المؤمنون  “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”     .
Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :
انه لا يفلح الكافرون.
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
5.   Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri.
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan).
6. Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah.
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri dengan “انه لايفلح الكافرين “ ( sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam Q.S al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa mereka akan memperoleh kemenangan.
7.  Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan Awal Surah Berikutnya.
Misalnya akhir surah al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1 :
سبح الله مافى السموات والأرض وهو العزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah ( menyatakan kebesaran Allah ). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
8. Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم.
Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير.
Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tawqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab al-Qur’an.

N. Israiliyyat
a.       Pengertian Israiliyyat
Kata israiliyat, secara etimologis merupakan bentuk jamak dari kata israiliyyah, Nama yang dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti Abdullah (Hamba Allah). Dalam pengertian lain israiliyat dinisbatkan kepada Nabi Yakub bin Ishaq bin Ibrahim. Hal ini didasarkan sebuah hadits riwayat Abu Daud At-Tayalisi dari Abdullah bin Abbas ra. Yang artinya: “Sekelompok yahudi telah datang kepada nabi, Lalu nabi bertanya kepada mereka: Tahukah anda sekalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Yakub? Mereka menjawab, benar! Lalu Nabi berdoa : Ya Tuhanku! Saksikanlah pengakuan mereka ini”, dan terkadang israiliyat identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan dogma.
Secara terminologis, kata israiliyyat yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun hadis berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya. Di katakan juga bahwa israiliyyat termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.
Menurut Ahmad Khalil Arsyad, Israiliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl al-Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.
 Diantara cerita-cerita yang termasuk israiliyyat itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab bint Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing Ashab al-Kahf, makanan yang diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.
Ibnu Katsir (w. 774 H) Ibnu Katsir membagi israiliyyat menjadi tiga macam, yaitu:
·        Cerita-cerita yang sesuai kebenarannya dengan Al-Quran, Berarti cerita itu benar. Dalam hal ini cukuplah Al-Quran yang menjadi pegangan. Kalaupun diambil cerita tersebut hanyalah sebagai bukti adanya saja, Bukan untuk dijadikan pegangan atau hujjah.
·        Cerita yang terang-terangan dusta, Karena menyalahi ajaran kita (Islam). Cerita serupa ini harus ditinggalkan, Karena menurutnya, merusak aqidah kaum muslim
·        Cerita yang didiamkan (Maskut anhu), Yaitu cerita yang tidak ada keterangan kebenarannya dalam Al Quran, akan tetapi juga tidak bertentangan dengan Al Quran. Cerita serupa ini tidak boleh dipercaya dan tidak boleh pula kita (umat Islam) mendustakannya. Misalnya nama-nama Ashabul Kahfi dan Jumlahnya. Namun cerita itu boleh diriwayatkan dengan hikayat.15
b.      Dampak Israiliyyat Terhadap Kesucian Agama Islam dan Hukum Periwayatannya
Menurut Al Dzhabi, jika israiliyyat itu masuk dalam khazanah tafsir Al Quran, ia dapat menimbulkan banyak dampak negatif, di antaranya:
1.      Dalam israiliyyat terdapat unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan ishmah pada Nabi dan Rasul dari dosa, karena mengadung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, terlebih sebagai Nabi. Hal ini, kalau tidak segera diantisipasi, kalau tidak segera diantisipasi berdasarkan pengajaran akidah yang kuat akan merusak akidah kaum Muslimin.
2.      Israiliyyat memberi kesan bahwa Islam seolah mengandung khurafat dan penuh dengan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ini jelas bahwa israiliyyat memojokkan dan merusak citra Islam.
3.      Israillyat menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf. Baik dari kalangan sahabat maupun tabiin. Israiliyyat dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran. Berikut Ada beberapa kitab tafsir Al Quran yang diduga keras banyak mengambil cerita-cerita israiliyyat.