Senin, 20 Desember 2010

Agama, Ilmu dan Masa Depan Manusia

AGAMA, ILMU, DAN MASA DEPAN MANUSIA

Agama dan ilmu dalam beberapa hal berbeda, namun pada sisi tertentu memiliki kesamaan. Agama lebih mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung ekslusif dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak terlalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif dan objektif. Kendati agama dan ilmu berbeda, keduanya memiliki persamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan kemudahan bagi manusia.
Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua kitab suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Agama dan ilmu sama-sam memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi. Gempa bumi dalam konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung di balik setiap bencana. Adapun menuntut ilmu, gempa bumi terjadi akibat pergeseran lempengan bumi atau tersumbatnya lava gunung berapi. Oleh karena itu, para ilmuwan harus mencari ilmu dan teknologi untuk mendeteksi kapan gempa akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak.
Contohnya:
Ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyengsarakan sebagian besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi informasi, masyarakat miskin di daerah tertentu semakin transparan, sebaliknya orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata.
Namun, di sisi lain manusia semakin tergantung pada teknologi, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara yang benar-benar nyata dan hasil rekayasa. Jika teknlogi dijadikan tujuan dan cita-citamaka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri.
Di satu sisi teknologi menjadi penjara bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi itu pun dipenjara oleh kepentingan manusia. Teknologi layar seakan-akan telah memenjarakan manusia karena dia tidak bekerja kalau tidak ada komputer atau handphone. Namun, pada saat yang bersamaan manusia memanfaatkan layar untuk ambisinya. Maka tidak heran, bila kemudian layar televisi yang luasnya beberapa pulyuh inci disesaki oleh berbagai program. Ibarat tong sampah semuanya ada di situ, pasar, politik, ekonomi, masjid, gereja, pura, dokter, dukun, gajah, dan semut semua masuk televisi. Para penguasa televisi memanfaatkan benar kebutuhan masyarakat sehingga dia gunakan kebutuhan itu untuk mencari untuk sebanyak-banyaknya.
Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan relegius yang unspeakble dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebatas alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern” mewakili sikap ogoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengasahkan keserakahan, sekedar untuk tidak dianggap kuno.
Semangat yang berlebihan dalam beragama justru akan merugikan dan merusak agama itu sendiri. Di satu pihak, penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi agama agar sesuai dengan kemajuan zaman, atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan kemiskinan agama sekedar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya. Di pihak lain, religiusitas tidak dapat direalisasi secara paksa karena hanya memuaskan perasaan manusia belaka. Visualisasi yang bagaimanapun tentang Tuhan hanya menghasilkan patung Tuhan.
Agama sendiri merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut memengaruhi perkembangan dunia itu sendiri, dan dengan cara demikian juga memenagruhi jalannya sejarah.
Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”, tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik.
Konsep agama tentang hari akhirat adalah salah satu ajaran yang penting, tidak saja dari aspek teologis, tetapi juga psikologis dan historis. Secara teologis ajaran tentang hari akhirat cukup banyak tercantum dalam kitab suci agama, terutama agama-agama Semit, yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Artinya, perhatian kitab suci pada hari kiamat sangat besar sekali. Secara psikologis, hari pembalasan memberikan ketenangan bagi diri seseorang yang amat gamang menghadapi kematian. Secara historis, telah terbukti bahwa hari kebangkitan melanggengkan agama. Ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa agama-agama yang mempunyai doktrin kehidupan setelah mati jauh lebih tahan dibandingkan agama-agama yang tidak memilikinya. Sejarah mencatat beberapa agama punah menjadi arkeologi salah satu sebab utamanya adalah tidak memiliki doktrin hari kebangkitan.
Dalam agama-agama pandangan mengenai hari depan tidak seragam. Ada yang berpandangan bahwa tujuan akhir kehidupan ini adalah nirwana, yakni ketiadaan dan dalam ketiadaan itu sifat dan keinginan kemanusiaannya hilang. Ketika manusia masih memiliki keinginan, dia akan kembali ke dunia dalam bentuk lain. Ada juga yang berpandangan bahwa ada kehidupan yang lebih abadi dan tenang di alam sana sehingga bagi orang yang sudah membekali dirinya untuk berangkat ke alam sana tidak akan takut menghadapi mati.
Dalam kerangka itu, agama dan ilmu memiliki kesamaan, yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desai agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama untuk memberikan ketenangan setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan teknologi untuk hidup masa depan di dunia ini.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai “rasio” (akal) yang tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana masing-masing untuk membuktikan kebenarannya dan menghayati hakikatnya. Ilmu pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaran fisik, biologi, sosial, dan budaya.
Dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk pembangunan, maka demi menjaga keseimbangan antara teknologi, pembangunan, dan lingkungan kita tidak boleh dihinggapi penyakit rabun dekat dan mengikuti naluri hanya untuk memikirkan hasil-hasil jangka pendek. Keuntungan semu jangka pendek tidak mustahil menjadikan bumerang yang mengakibatkan kerugian dalam jangka panjang.
Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana juga gama. Di dunia barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekadar mengkaji dan mengukur benda secar empiris. Padahal, sesungguhnya, ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya untuk berpikir secara filosofis. Mereka hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi. Sedangkan penganut agama harus dilatih berpikir dengan cara yang berbeda; kalau tidak, mereka akan tetap bertuhan secara dogmatis. Kita harus memandang agama lebih dari sekedar keyakinan. Para penganut agama harus kembali ke sejumlah pemikir mereka sendiri untuk bersikap agak lebih luwes dan tidak menganut gaya berpikir inkusisi yang “sederhana”.
Sinergi agama dan ilmu dalam konteks ini dapat dilakukan demi terwujudnya keseimbangan peradaban manusia. Sebab, kalau masing-masing pihak masih tetap mempertahankan ego, maka masa depan umat manusia tidak dapat diramalkan, bahkan akibatnya jauh lebih dahsyat daripada kehancuran Perang Dunia II.
Di sinilah ilmu dan teknologi tidak harus dilihat dari aspek yang sempit, tetapi harus dilihat dari tujuan jangka panjang dan untuk kepentingan kehidupan yang lebih abadi. Kalau visi ini yang diyakini oleh para ilmuwan dan agamawan, maka harapan kehidupan ke depan akan lebih cerah dan sentosa. Tentu saja pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dukungan dari berbagai pihak untuk terwujudnya masa depan cerah dan harmonis.


Sumber dari:
 Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), cet. ke-9.